Friday, November 14, 2008

Menolak Cinta Allah?, sebuah refleksi

Macet adalah hal yang biasa dalam perjalanan menuju tempat kerja. "Kalau tidak macet pasti itu hari sabtu atau lebaran", itulah Jakarta yang identik dengan kemacetan. Kita terkadang menikmati kemacetan itu, pada saat lain kita gusar dan kesal dengan kemacetan karena diburu waktu untuk memenuhi janji. Itu juga biasa malahan sudah menjadi kebiasaan.
Suatu kali seorang teman berceloteh, "akh sepanjang perjalanan menuju tempat kerja, pernahkah antum berbagi cinta?'. "Maksudnya apa akh?', tanya saya sedikit menyelidik, jangan-jangan teman ini mulai selingkuh. "Berbagi cinta dengan pengemis, pedagang asongan dan penyapu jalan". Sambil istigfar timbul perasaan bersalah dan malu karena telah berprasangka jelek kepada teman ini.

Memang seharusnya kita berbagi cinta untuk mendapatkan cinta Allah SWT. Mereka yang mungkin tidak beruntung secara ekonomi seperti pengemis pasti tidak menjadikan mengemis sebagai propfesi. Karena pada kodratnya manusia itu memiliki keinginan yang kuat untuk berusaha dan menjaga harga diri. Kita mungkin pernah melihat dan membaca ada pengemis yang diorganisir sebagai profesi. Namun disinilah keimanan kita diuji. Bisakah kita dengan ikhlas dan rasa cinta terhadap makhluk ciptaan Allah? Bukankah niat merupakan urusan mereka dengan Khaliknya. Kita memberi karena kita mencitai makhluk Allah yang kurang beruntung, kita memberi untuk merebut cinta Allah. Munkinkah kita menolak cinta Allah? itu adalah suatu hal yang naif, kita sangat berharap mendapatkan cinta Allah SWT bukankah Rasululullah SAW telah mengingatkan kita :

"Cintailah yang ada dibumi, maka Yang dilangit akan mencintaimu"(Hadis)





No comments:

Post a Comment

Kebahagian bukan ditentukan oleh waktu dan tempat

Seorang cendikiawan berkebangsaan Inggris, "adalah memungkinkan bagimu-apabila engkau ditahan didalam dalam sebuah penjara-untuk tetap ...